Rabu, 16 Januari 2013

K.E.P.O

Ini adalah sebuah akronim yang benar-benar baru buat saya. Di angkot anak muda ngomong KEPO, di jalan, pasar, di facebook. Yang ternyata artinya adalah Knowing Every Particular Object. Saya malah harus bilang "WOW" untuk bahasa gaul ini.

Kalau saya terjemahkan KEPO berarti keingintahuan tentang hal-hal yang diamati (terjemahan bebas versi saya). Ini adalah modal utama belajar. Di saat kita terus bertanya tentang sesuatu, kita akan terus memburu jawabannya. Dengan usaha, serta izin Allooh, proses pencarian jawaban akan berlangsung sehingga bertemulah kita dengan jawaban yang benar.

Proses belajar anak-anak kami tak jarang diawali dari sebuah pertanyaan "kenapa", "kapan", "bagaimana", dan sejenisnya. Tak jarang mereka menjadi pengamat langsung saat ingin memenuhi keingintahuan mereka. Saat banyak ulat di kebun, banyak laron di dekat lampu, dan lainnya. Pengamatan langsung ini akan sangat serasi apabila orangtua dengan sigap menemani mereka bersama-sama mencari tahu faktanya.

Pencarian fakta bisa didapatkan melalui berbagai cara, antara lain percobaan, mencari bersama melalui sumber internet, membaca buku bersama, observasi lapangan, atau mendatangi/bertanya kepada orang yang ahli. Saat banyak laron menghampiri lampu, anak ke dua memperhatikan, beberapa saat kemudian dia membuat 'laporan' bahwa laron telah terperangkap di sarang laba-laba. Beberapa saat kemudian,'laporan' ia lengkapi lagi, seekor laba-laba mendatangi laron tersebut dan tampaknya akan melahapnya. Dari sini dia menyimpulkan, bahwa sarang laba-laba memiliki fungsi sebagai perangkap. Temuan ini lalu dikombinasikan dengan membaca buku tentang laba-laba, maka terpenuhi keingintahuannya.

keingintahuan, bagi saya adalah modal belajar. Di saat mereka terus ingin tahu, maka proses belajar akan terus berjalan. Peliharalah terus harta berharga ini. Saat anak-anak merasa keingintahuan mereka terpenuhi, mereka akan terus mengajukan jawaban, insyaa allooh mereka akn terus mencintai pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman merupakan sesuatu yang berharga bagi anak-anak, dan biasanya melekat lama.

Sebaliknya, saat mereka mengajukan pertanyaan, rasa penasaran, tetapi tak kunjung mendapat tanggapan, semangat untuk terus mengajukan pertanyaan akan berkurang. Ingatlah Newton menemukan hukum gravitasi dari pertanyaan di kepalanya tentang sebuah apel yang jatuh, Archimedes heran mengapa air di bak mandinya tumpah saat ia menceburkan diri, mereka ini orang-orang yang memiliki sikap KEPO.
Jadi, sikap KEPO perlu dijaga bagi anak-anak sebagai awal proses belajarnya. (asal bukan ingin tahu urusan yang nggak  penting yaaaaa)

Sabtu, 05 Januari 2013

Otot vs Otak


Suatu hari, Harits masuk rumah dengan sangat kesal sambil berteriak:  “Curang, beraninya keroyokan”.  Dia adalah seorang anak dengan pemahaman melebihi anak-anak seusianya tentang harga diri, padahal Harits tak sekalipun pernah belajar di kelas, di ruang sekolahan. Yang dia pahami, tak ada seorang manusia pun yang berhak menghalangi orang lain untuk pergi ke masjid, menghadap robb nya. Inilah awal pergulatan Harits mengatasi bullying yang menimpanya, melawan ketidakadilan versinya, dan berpikir cerdas mencari solusi.

Sang ibu berusaha menenangkan karena mengetahui sifat keras dan mudah marah Harits. Ia memberinya masukan, nasehat, dan lainnya. Tetapi Harits sudah terlanjur merasa harga dirinya diinjak-injak. Entah apa yang dipikirnya setelah kejadian itu. Beberapa waktu setelahnya Harits mendatangi satu per satu dari 5 anak yang mengeroyoknya saat sepulang isya, ia hajar, lalu kabur. Sejenak ia merasa puas karena telah menghukum secara setimpal para pengeroyok itu, yah, paling tidak menurutnya. Ternyata itu bukan solusi. Harits tetap jadi sasaran kelima anak tadi. Ia masih tetap di ‘palak’.

Lagi-lagi, ibunya tetap tenang, menasehati, dan mengajak berpikir tentang solusi yang tepat. Bahkan Harits harus berlari cepat atau sembunyi-sembunyi saat pergi/pulang dari masjid untuk menghindari pemerasan. Sang Ibu tidak larut dalam masalah. Ia tetap menganggap masalah tersebut sebagai tantangan bersama yang harus dihadapi.

Rupanya seiring waktu berjalan, Harits dengan kemampuan berpikir analitisnya menemui celah. Ketua ‘genk’ pemeras rupanya memiliki beberapa ‘musuh’ juga. Anak-anak yang juga pernah menjadi korban pemerasan tak menyukainya. Di sisi lain, Harits semakin banyak memiliki teman. Walapupun warga baru di lingkungan itu, Harits telah menjalin pertemanan dengan beberapa anak yang usianya di atas mereka. Harits bilang: “Aku punya tim’.

Bukan, Harits tak mengajak timnya untuk berkelahi, tetapi melemparkan ‘wacana’. Ya, ini bahasa saya sebagai ‘pengamat’ masalah Harits. Laki-laki 9 tahun itu mampu bernegosiasi, menyusun strategi, dan mengorganisasikan teman-temannya, sehingga muncullah pemahaman di kalangan teman-temannya, mereka tidak menyukai tindakan pemerasan dan pengeroyokan.  Harits menyusun langkah strategis, merencanakan ‘hukuman’ psikologis untuk para bully yang semuanya merupakan anak sekolahan.

Wacana tersebut akhirnya menyebar ke seantero lapangan, tempat bertemunya berbagai macam anak. Anak yang dididik sekedarnya, yang dibiarkan, dan anak-anak dengan perhatian luar biasa dari orang tuanya.  Harits telah siap dengan peluru-pelurunya.

Suatu hari, saat ketua genk pengeroyok itu bermain petasan, Harits bersama teman-teman yang lain bersepakat (tanpa diketahui si ketua genk). Jika si ketua genk tersebut masih terus bermain petasan, ia akan ditinggalkan. Benar saja hal itu terjadi. Lain waktu, kakak dari 3 adik ini mengajak teman-temannya meninggalkan anak berbadan besar itu saat bermain petak umpet. Saat ia berjaga, teman-teman yang lain pulang. Ternyata hukuman seperti ini efektif membuat si  ketua genk jera. Harits merasa strateginya berhasil.

Harits telah mengalami masa-masa yang sulit menghadapi bullying. Mulai dari sangat marah, bahkan akibatnya, ia menjadi mudah marah ke adik-adiknya, sampai keluar ide cemerlangnya mengatasi bullying. Semua ini berjalan dalam waktu lebih dari 2 bulan.

Ini kisah anak-anak. Tetapi bagi saya maknanya dalam. Seorang  anak yang tak bersekolah,  yang tertanam identitas kuat dalam dirinya. Anak yang  dididik dalam benteng akidah, dimana pelajaran budi pekerti bukanlah tentang memilih jawaban a,b,c, atau d. Ini bukan dongeng, tetapi terjadi di masa digital ini.