Jumat, 13 Desember 2013

Belajar Bikin Mpek-mpek

Sejak tinggal di Bitung,saya tertantang untuk mampu mengolah ikan.Ini bumi cakalang,selain cakalang,ada juga tuna,bobara,tude,kerapu,tenggiri,dan lain-lain.

resep mpek-mpek ini saya dapat dari tukang mpek-mpek,yaitu adik saya sendiri,hehehehe.


Bahan:

1/5 kg daging tenggiri (buang bagian yang hitam agar tidak amis)
250gr tepung tapioka/sagu
telur ayam secukupnya,untuk isian
gula 1 sendok makan
garam 1 sendok teh

Bukakan Banyak Pintu

Di tahun ke sekian perjalanan homeschooling kami,naik-turun semangat sudah sekian kali lewat.Tak hanya si anak yang bosan,bahkan saya sebagai teman belajarnya pun seringkali bosan.Alhamdulillaah,sampai saat ini,kami bisa saling menyemangati.

Kami mulai memasuki fase belajar yang lebih serius daripada setahun yang lalu.Jangan tanya sudah kelas berapa anak saya,karena beberapa kurikulum nasional belum kami jamah. Si sulung sekarang lebih menyukai jadwal,keadaan yang sungguh terbalik dibanding sebelumnya.Saya pun,mulai sering gelagapan,hmmmmmmm.



Dulu, memang saya cukup santai menjalani homeschooling.Nyaris tanpa jadwal dan persiapan yang sulit,proses belajar mengalir saja.Sampai suatu saat anak perempuanku memintaku menyusun jadwal.Bahkan,ia meminta saya menggunakan pakaian rapih saat menemaninya belajar,menggunakan celemek seperti guru-guru sekolah dasar di Jepang.


Rabu, 11 September 2013

Surat Pengobat Lelah

Kuperuntukkan risalah ini bagimu Duhai Istriku….. Raihlah surga di rumahmu dengan bakti dan cinta pada suami tersayangmu. Renungkanlah sejenak, sudahkah anda menjadi istri idaman suami? Ibu panutan anak-anak? Wanita sholihah teladan ummat? Dan terakhir maukah Engkau menjadi istri sholihah yang dicintai Alloh kemudian dicintai oleh suamimu?


بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم و بارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:

Jazakillah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) wahai istriku sayang… Kamu masih bisa tabah, tersenyum dan memberikan dorongan di saat aku terhimpit dalam ekonomi.
Jazakillah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan) wahai istriku sayang… Kamu masih bisa mengurus anak-anak yang sakit dengan sentuhan lembutmu, disaat aku tidak bisa membawa mereka ke rumah sakit, karena minimnya biaya.

Jumat, 06 September 2013

Mendadak Jadi Manajer

Memilih menjalankan homeschooling, berarti kita siap menjalankan sebuah konsep yang (hampir saja) dimulai dari nol sama sekali. Membangun sebuah sistem pendidikan keluarga, dengan (mungkin) sangat deg-degan dan setengah merasa nekad. Hal tersebut saya rasakan saat beberapa bulan pertama menjalankan Homeschooling. Rasanya seperti melintasi sebuah jalan yang sepi, baru dibuka, dan belum terpasang rambu-rambu di dalamnya.

Dengan 'bismillah' dan sedikit keraguan untuk memulai, saya mengajak bergabung bersama beberapa ibu di sekitar rumah untuk membentuk komunitas homeschooling. Pencarian tentang tips, trik, materi, dan sebagainya masih terus berlangsung. Beberapa kali saya dan teman-teman berkumpul bersama untuk melakukan kegiatan. Kami juga mengadakan acara yang lebih besar  bersama komunitas lain.

Dari beberapa hal yang saya dan teman-teman pesekolah rumah lewati, saya melihat, pesekolah rumah tersebut lebih sering mengambil inisiatif. Seorang teman yang menginginkan anak-anaknya baik dalam hafalan, berinisiatif membuat kelompok hafalan anak-anak. Seorang ibu yang melihat anaknya tertarik dalam dunia menjahit, mendukungnya dengan membantu mencari tahu situs-situs yang diperlukan, serta alat-alat yang relatif mudah untuk anak-anak. Serta banyak lagi hal lain yang memerlukan inisiatif seorang ibu/orangtua dalam menjalankan homeschooling.

Dalam tulisan ini fokus saya adalah pada sosok ibu. Saya menyebutkan ibu saja, karena pada kenyataannya porsi terbesar dalam menjalankan homeschooling dipegang oleh ibu. Walaupun dalam beberapa kasus ada juga keluarga yang menjalaninya dengan porsi yang hampir sama antara ibu dengan ayah.

Posisi ibu dalam homeschooling menurut saya tak ubahnya seperti manajer dalam sepakbola. Tentu saja, bedanya adalah profit-nonprofit-oriented nya. Ibu mengatur saat irama lambat, ia harus memiliki inisiatif agar anak-anak semangat. Jeli saat tempo anak-anak cepat, maka ia harus ikut bersemangat. Jeli saat si kecil sudah bosan dengan bermain, dan ingin segera bisa membaca. Menjadi pelopor semangat keluarga, dan tentu saja menjadi teladan baik.

Sebagai seorang manajer, seorang ibu tidak harus bisa melakukan segala hal sendiri. Saat sang kakak tertarik robot, ibu bisa mencarikan tempat kursus, atau berdiskusi dengan ahli atau teman lamanya, atau saudara temannya, atau teman dari saudaranya, atau dengan teman yang baru dikenalnya saat antri berbelanja, atau dengan tetangga, atau dengan kenalan dari saudara teman yang di luar negeri, dan seterusnya.

Ibu juga bisa memaksimalkan penggunaan internet. Sebagai manajer homeschooling, kita sering mendengar keinginan/pertanyaan tak terduga dari anak. Menguasai cara pencarian informasi merupakan modal. Curilah waktu sedikit di saat anak-anak bermain/tidur untuk belajar memaksimalkan penggunaan internet. Setelah itu dampingi anak-anak memenuhi rasa ingin tahunya. Jika ragu, kita bisa bertanya, atau dimulai dari membaca buku.

Oh iya, buku juga menjadi senjata ampuh kita sebagai manajer. Buku tak harus semua baru. Sekarang ada banyak e-book gratis. Perpustakaan online. Atau kita bisa juga mencari buku bekas, meminjam dari perpustakaan, dan sebagainya. Alhamdulillaah, ternyata banyak juga sumber belajar kita sebagai manajer dadakan. Kuncinya, kita tidak dituntut untuk tahu semua hal, tetapi kita seharusnya mau mendampingi anak-anak untuk belajar bersama tentang sebuah hal.

Oh iya, manajer juga biasanya punya kantor ya. Kalau kita, cukuplah satu lemari kecil dan meja sebagai kantor. 'kantor' ini bermanfaat untuk menyimpan buku-buku catatan tangan, kertas untuk membuat kertas kerja dadakan saat diminta, rujukan-rujukan homeschooling yang utama, dan sebagainya. Oh iya, saya juga menyimpan buku-buku pelajaran ini di 'kantor saya'. Sesekali, tergoda juga saya, melirik 'materi' anak sekolah. Semangat!

Senin, 03 Juni 2013

Homeschooling: Belajar Tanpa Ujian

Semakin hari, kami merasa belajar dan menjalankan kehidupan sehari-hari seperti sulit dibedakan. Anak-anak heran, akhir-akhir ini kami jarang belajar di meja.Kami memang sudah cukup lama menjauh dari materi pelajaran. Bagaimana tidak, si sulung sibuk dengan rencana kriya nya setiap hari. Anak ke dua sedang antusias memasak, apalagi setelah adik kecil ketagihan nasi goreng buatannya, semakin senang dia di dapur.Walaupun demikian, menu wajib hafalan dan membaca qur an tak boleh lewat.

Saya dan beberapa teman sempat secara rutin mengadakan ujian tertulis untuk anak-anak. Lucu, anak-anak tidak mau menjawab pertanyaan yang mereka tidak tau, mereka tidak mau asal menjawab, padahal itu soal pilihan ganda. Lucu juga, saat ada pertanyaan: Saat bermain bersama adik, sikapmu adalah.....Anak saya menjawab dengan polos:tidak mau berbagi, dia menjawab sesuai dengan yang dia praktekkan. Saya hanya tersenyum


Rabu, 16 Januari 2013

K.E.P.O

Ini adalah sebuah akronim yang benar-benar baru buat saya. Di angkot anak muda ngomong KEPO, di jalan, pasar, di facebook. Yang ternyata artinya adalah Knowing Every Particular Object. Saya malah harus bilang "WOW" untuk bahasa gaul ini.

Kalau saya terjemahkan KEPO berarti keingintahuan tentang hal-hal yang diamati (terjemahan bebas versi saya). Ini adalah modal utama belajar. Di saat kita terus bertanya tentang sesuatu, kita akan terus memburu jawabannya. Dengan usaha, serta izin Allooh, proses pencarian jawaban akan berlangsung sehingga bertemulah kita dengan jawaban yang benar.

Proses belajar anak-anak kami tak jarang diawali dari sebuah pertanyaan "kenapa", "kapan", "bagaimana", dan sejenisnya. Tak jarang mereka menjadi pengamat langsung saat ingin memenuhi keingintahuan mereka. Saat banyak ulat di kebun, banyak laron di dekat lampu, dan lainnya. Pengamatan langsung ini akan sangat serasi apabila orangtua dengan sigap menemani mereka bersama-sama mencari tahu faktanya.

Pencarian fakta bisa didapatkan melalui berbagai cara, antara lain percobaan, mencari bersama melalui sumber internet, membaca buku bersama, observasi lapangan, atau mendatangi/bertanya kepada orang yang ahli. Saat banyak laron menghampiri lampu, anak ke dua memperhatikan, beberapa saat kemudian dia membuat 'laporan' bahwa laron telah terperangkap di sarang laba-laba. Beberapa saat kemudian,'laporan' ia lengkapi lagi, seekor laba-laba mendatangi laron tersebut dan tampaknya akan melahapnya. Dari sini dia menyimpulkan, bahwa sarang laba-laba memiliki fungsi sebagai perangkap. Temuan ini lalu dikombinasikan dengan membaca buku tentang laba-laba, maka terpenuhi keingintahuannya.

keingintahuan, bagi saya adalah modal belajar. Di saat mereka terus ingin tahu, maka proses belajar akan terus berjalan. Peliharalah terus harta berharga ini. Saat anak-anak merasa keingintahuan mereka terpenuhi, mereka akan terus mengajukan jawaban, insyaa allooh mereka akn terus mencintai pengetahuan. Pengetahuan yang didapat dari pengalaman merupakan sesuatu yang berharga bagi anak-anak, dan biasanya melekat lama.

Sebaliknya, saat mereka mengajukan pertanyaan, rasa penasaran, tetapi tak kunjung mendapat tanggapan, semangat untuk terus mengajukan pertanyaan akan berkurang. Ingatlah Newton menemukan hukum gravitasi dari pertanyaan di kepalanya tentang sebuah apel yang jatuh, Archimedes heran mengapa air di bak mandinya tumpah saat ia menceburkan diri, mereka ini orang-orang yang memiliki sikap KEPO.
Jadi, sikap KEPO perlu dijaga bagi anak-anak sebagai awal proses belajarnya. (asal bukan ingin tahu urusan yang nggak  penting yaaaaa)

Sabtu, 05 Januari 2013

Otot vs Otak


Suatu hari, Harits masuk rumah dengan sangat kesal sambil berteriak:  “Curang, beraninya keroyokan”.  Dia adalah seorang anak dengan pemahaman melebihi anak-anak seusianya tentang harga diri, padahal Harits tak sekalipun pernah belajar di kelas, di ruang sekolahan. Yang dia pahami, tak ada seorang manusia pun yang berhak menghalangi orang lain untuk pergi ke masjid, menghadap robb nya. Inilah awal pergulatan Harits mengatasi bullying yang menimpanya, melawan ketidakadilan versinya, dan berpikir cerdas mencari solusi.

Sang ibu berusaha menenangkan karena mengetahui sifat keras dan mudah marah Harits. Ia memberinya masukan, nasehat, dan lainnya. Tetapi Harits sudah terlanjur merasa harga dirinya diinjak-injak. Entah apa yang dipikirnya setelah kejadian itu. Beberapa waktu setelahnya Harits mendatangi satu per satu dari 5 anak yang mengeroyoknya saat sepulang isya, ia hajar, lalu kabur. Sejenak ia merasa puas karena telah menghukum secara setimpal para pengeroyok itu, yah, paling tidak menurutnya. Ternyata itu bukan solusi. Harits tetap jadi sasaran kelima anak tadi. Ia masih tetap di ‘palak’.

Lagi-lagi, ibunya tetap tenang, menasehati, dan mengajak berpikir tentang solusi yang tepat. Bahkan Harits harus berlari cepat atau sembunyi-sembunyi saat pergi/pulang dari masjid untuk menghindari pemerasan. Sang Ibu tidak larut dalam masalah. Ia tetap menganggap masalah tersebut sebagai tantangan bersama yang harus dihadapi.

Rupanya seiring waktu berjalan, Harits dengan kemampuan berpikir analitisnya menemui celah. Ketua ‘genk’ pemeras rupanya memiliki beberapa ‘musuh’ juga. Anak-anak yang juga pernah menjadi korban pemerasan tak menyukainya. Di sisi lain, Harits semakin banyak memiliki teman. Walapupun warga baru di lingkungan itu, Harits telah menjalin pertemanan dengan beberapa anak yang usianya di atas mereka. Harits bilang: “Aku punya tim’.

Bukan, Harits tak mengajak timnya untuk berkelahi, tetapi melemparkan ‘wacana’. Ya, ini bahasa saya sebagai ‘pengamat’ masalah Harits. Laki-laki 9 tahun itu mampu bernegosiasi, menyusun strategi, dan mengorganisasikan teman-temannya, sehingga muncullah pemahaman di kalangan teman-temannya, mereka tidak menyukai tindakan pemerasan dan pengeroyokan.  Harits menyusun langkah strategis, merencanakan ‘hukuman’ psikologis untuk para bully yang semuanya merupakan anak sekolahan.

Wacana tersebut akhirnya menyebar ke seantero lapangan, tempat bertemunya berbagai macam anak. Anak yang dididik sekedarnya, yang dibiarkan, dan anak-anak dengan perhatian luar biasa dari orang tuanya.  Harits telah siap dengan peluru-pelurunya.

Suatu hari, saat ketua genk pengeroyok itu bermain petasan, Harits bersama teman-teman yang lain bersepakat (tanpa diketahui si ketua genk). Jika si ketua genk tersebut masih terus bermain petasan, ia akan ditinggalkan. Benar saja hal itu terjadi. Lain waktu, kakak dari 3 adik ini mengajak teman-temannya meninggalkan anak berbadan besar itu saat bermain petak umpet. Saat ia berjaga, teman-teman yang lain pulang. Ternyata hukuman seperti ini efektif membuat si  ketua genk jera. Harits merasa strateginya berhasil.

Harits telah mengalami masa-masa yang sulit menghadapi bullying. Mulai dari sangat marah, bahkan akibatnya, ia menjadi mudah marah ke adik-adiknya, sampai keluar ide cemerlangnya mengatasi bullying. Semua ini berjalan dalam waktu lebih dari 2 bulan.

Ini kisah anak-anak. Tetapi bagi saya maknanya dalam. Seorang  anak yang tak bersekolah,  yang tertanam identitas kuat dalam dirinya. Anak yang  dididik dalam benteng akidah, dimana pelajaran budi pekerti bukanlah tentang memilih jawaban a,b,c, atau d. Ini bukan dongeng, tetapi terjadi di masa digital ini.